Abstract

Adolescents need high subjective well-being because adolescence is a transition period from childhood to adulthood so that they are vulnerable to various problems. The same applies to teenage students who live in Islamic boarding schools. This study aims to determine the description of subjective well being in adolescent students at Pondok Pesantren An - Nur Sidoarjo. The number of subjects in this study were 123 students using the proportional stratified random sampling technique from 190 total populations. Collecting data using a Likert scale model on the subjective well being variable. The research analysis uses descriptive analysis method with a quantitative approach and utilizes the help of SPSS 25.0 for Windows. The results of this study indicate that most of the subjective well being students are in the moderate category with a percentage of 38% of 47 students. The next result is a description of subjective well being based on gender and age. Subjective well being based on gender shows that the value of Sig. (2-tailed) 0.023 <0.05, then there is a significant difference between the subjective well being of male students. Subjective well being based on the age factor of the students at the An-Nur Islamic Boarding School can show that the value of Sig. 0.000 <0.05, it can be concluded that the average subjective well being based on age is significantly different.

Pendahuluan

Remaja merupakan masa krisis dimana pada masa ini remaja menunjukan adanya kepekaan dan labilitas tinggi, penuh gejolak, dan ketidak seimbangan emosi [1]. Keadaan tersebut membuat remaja sering disebut sebagai usia bermasalah karena tidak mampu dalam menyelesaikan maupun memecahkan berbagai masalah yang sedang dihadapi [2]. Berbagai masalah yang terjadi dalam hidup remaja dapat berdampak negatif dan tidak sedikit menimbulkan perasaan yang membuat dirinya tidak bahagia dan emosional. Dimana seharusnya pada masa remaja kebahagiaan menjadi hal penting yang harus dimiliki, karena kebahagiaan dapat menjadikan kehidupaanya lebih berharga dan terjauhkan dari perasan maupun emosi yang negatif [3].

Hasil wawancara dari 3 santri berbagai tingkatan kelas sebagai study awal menunjukkan bahwa 3 santri merasa sedih, marah, dan merasa tertekan dengan kegiatan maupun kondisi yang ada di pondok pesantren, disebabkan oleh banyaknya peraturan di pondok dan padatnya kegiatan di pondok pesantren. Situasi tersebut menuntut santri untuk beradaptasi. Proses adaptasi tersebut tentunya akan menimbulkan bebagai krisis permasalahan. Menurut penelitian [4] permasalahan yang dihadapi oleh siswa yang ada di pesantren dapat berpengaruh terhadap perilaku siswa ke depannya, oleh karena itu kesejahteraan siswa yang ada di pesantren perlu menjadi perhatian. Kesejahteraan santri dapat menggambarkan kualitas dari aktivitas santri di pesantren dan pendidikannya. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh

[5] menjelaskan bahwa sebagian besar siswa di pondok memiliki subjective wellbeingyang sedang.

Diener menjelaskan bahwa subjective well being pada tingkat sedang akan berdampak pada tidak optimalnya subjective well being yang dimiliki individu [5]. Santri remaja yang diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pesantren pada nyatanya sering terjadi ketidak sesuaian seperti remaja merasa kehidupanya dibatasi dengan aturan-aturan yang ada di pesantren, tidak bisa melakukan hal-hal yang disukai, merasa tidak betah, sakit, serta tidak mengikuti kegiatan [6].

Perasaan puas, bahagia dan memiliki pikiran yang optimis mengenai kehidupnya merupakan salah satu aspek positif yang dimiliki subjective well being. Subjective well being adalah suatu kajian di dalam psikologi yang positif yaitu individu yang memiliki subjectivewellbeingtinggiditunjukkan dengan banyalnya individu mengalami berbagai macam emosi positif dan lebih merasa memiliki kehidupan yang sangat bermakna. Sedangkan individu yang memiliki subjective well being rendah akan menganggap kehidupanya sebagai peristiwa yang terjadi tidak menyenangkan dan karena itu menimbulkan emosi yang tidak menyenangkan seperti rasa cemasan, rasa marah dan depresi [7].

Menurut Diner subjective well being merupakan penilaian individu dalam kehidupanya yang berhubungan dengan Aspek kognitif meliputi kepuasan hidup seseorang, serta komponen afektif yaitu afek negatif atau perasaan tidak menyenangkan dan afek positif perasaan menyenangkan [8]. Subjective well being yang dimiliki oleh Individu terbentuk karena beberapa faktor diantaranya, yaitu faktor demografi dan lingkungan, faktor kepribadian, serta regulasi emosi. Menurut Eddington dan Shuman menemukan bahwa faktor demografis dan lingkungan dapat mempengaruhi subjective well being yaitu seperti usia, pendidikan, jenis kelamin, peristiwa hidup, kesehatan, harga diri, efikasi diri, optimisme, dan hubungan positif dengan orang sekitar [9]. Faktor kepribadian merupakan suatu sistem yang membentuk susunan susunan ciri tingkah laku, pikiran, & perasaan seseorang [10]. Faktor selanjutnya yaitu regulasi emosi menurut penelitian [11] menjelaskan bahwa subjective well being seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan dalam meregulasi emosi.

Peneliti memilih untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait gambaran subjectivewellbeingpada santri di Pondok Pesantren An – Nur Sidoarjo berdasarkan latar belakang di atas.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah Santri Pondok Pesantren An – Nur Sidoarjo yang berjumlah 190 santri berusia 13 – 15 tahun. Sampel penelitian ini ditentukan dengan mengacu pada tabel Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5%, sehingga total sampel yang di dapat yaitu sebanyak 123 santri. Proportionate stratifed random sampling untuk teknik sampling.Skala likert berdasarkan pertanyaan favorable dan unfavorable pada variabel subjective well being sebagai teknikpengumpulan data. Penyusunan skala subjective well being diadopsi dari penelitian [8] yang disusun menurut Diner, yaitu aspek kognitif dan aspek afeksi yang didalamnya terdapat afek positif (bahagia, bersemangat, serta fokus dengan apa yang dilakukan), afek negatif (gelisah, khawatir, sedih, susah, serta mudah tersinggung). Validitas subjective wellbeing bergerak 0,307 hingga 0,644 dari 19 aitem butir soal dan uji reliabilitas Alpha Cronbach di peroleh nilai koefesien sebesar 0,856. Selanjutnya, SPSS 25.0 for Windows digunakan oleh peneliti untuk mengolah data statistik hasil penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengumpulan data menggunakan skala subjective well beingyang telah dibagikan di peroleh hasil persentase yang dimiliki santri di Pondok Pesantren An-Nur pada Tabel 1. yaitu sebesar 31% dari 31 santri memiliki subjective well being yang rendah, 38% dari 47 santri memiliki kategori subjective well being yang sedang dan 31% dari 38 santri memiliki kategori subjectivewellbeingyang tinggi. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar santri di Pondok Pesantren An - Nur memiliki tingkat subjectivewellbeingpada kategori sedang yaitu 38% dari 47 santri. Penelitian ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya oleh [5] menjelaskan bahwa sebagian besar siswa di pondok memiliki subjective well being yang sedang, Diener menjelaskan bahwa subjective well beingpada tingkat sedang akan berdampak pada tidak optimalnya subjective well being yang dimiliki individu. Masih adanya subjective well beingsantri yang rendah dapat disebabkan oleh perbedaan kehidupan santri di pondok pesantren dengan remaja pada umumnya. Kehidupan di pondok pesantren telah di atur sedemikian rupa mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Menurut Rumiani keadaan dan peraturan di asrama sanggat berbeda dengan kondisi di rumah dapat berdampak pada sumber tekanan yang mengakibatkan stress [4]. Peraraturan yang ketat serta padatnya rutinitas wajib untuk ditaati santri agar proses pendidikan serta pengajaran dapat berjalan sesuai dengan tujuan pondok pesantren. Kewajiban tersebut membuat santri dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai aktifitas, kebiasaan serta budaya pada lingkungan pondok pesantren. Kehidupan di pondok pesantren telah di atur demi kepentingan santri, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua santri mampu untuk menjalani banyaknya aktivitas dan peraturan.

Setiap harinya santri harus berinteraksi dengan sesama santri lain yang tak jarang menimbulkan beberapa konflik antar santri. Wawancara dengan 2 santri pondok pesantren An-Nur menjelaskan bahwa sering mengalami konflik terhadap sesama santri yang membuatnya hanaya bisa terdiam memendam kesedihan. Santri tersebut sering merasa terganggu dengan sikap dari beberapa santri yang sering menggangu dirinya. Tidak hanya itu santri tersebut juga merasa menjadi bahan pembicaran oleh rekan – rekan santri lainya. Penelitian [12] menjelaskan bahwa permasalahan santri juga berkaitan dengan lingkungan sosial yang mana santri harus bergaul dengan dengan orang yang berbeda

dari adat istiadat, keluarga, ekonomi maupun asal daerah lingkungan tempat tinggal membuat santri mendapatkan masalah baik dengan teman maupun lingkungan sekitar pondok yang mengakibatkan santri merasa sedih, marah dan tidak betah. Perasaan sedih marah dan tidak betah merupakan

Rentang Hasil Kategori Jumlah Persentase
X < 43 Rendah 38 31%
43 ≤ X < 58 Sedang 47 38%
X > 58 Tinggi 38 31%
Total 123 100%
Table 1.Kategorisasi Subjective Well Being[1]

Subjective well being menurut Compton merupakan individu yang memiliki kebahagiaan dan kepuasan hidup dalam hidupnya. Subjective well being yang tinggi akan langsung tercermin dalam perilaku yang membuat individu tersebut akan tampak lebih bahagia dan lebih puas [13]. Subjective well being yang dimiliki oleh Individu terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Eddington dan Shuman menemukan bahwa faktor demografis dan lingkungan dapat mempengaruhi subjective well being yaitu seperti usia, pendidikan, jenis kelamin, peristiwa hidup, kesehatan, harga diri, efikasi diri, optimisme, dan hubungan positif dengan orang sekitar [14]. Peneliti melakukan perbandingan mengenai subjectivewellbeingberdasarkan faktor jenis kelamin pada santri di Pondok Pesantren An – Nur dapat di lihat pada Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai Sig. (2-tailed) 0,023 < 0,05, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara subjective well being santri laki – laki dan subjective well being santri perempuan. Hasil tersebut diperkuat oleh penelitian [15] yang menunjukkan bahwa terdapat Sig. sebesar 0,025 < dari 0,05 nilai tersebut menujukan terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin dengan subjective well being, yang berarti remaja perempuan memiliki subjectivewellbeinglebih rendah daripada remaja laki-laki.

Figure 1.Subjective Well Being Berdasarkan Jenis Kelamin [2] Independent Samples Test

Figure 2.Rata – Rata Subjective Well Being Berdasarkan Jenis Kelamin [1]

Perbedaan signifikan antara subjective well being santri laki – laki dan subjective well being santri perempuan di Pondok Pesantren An – Nur dapat dilihat dari hasil rata – rata pada Gambar 1. menunjukkan bahwa santri laki – laki memiliki nilai rata - rata 51,7 yang berarti bahwa subjective well being santri laki -laki lebih tinggi dari pada santri perempuan dengan nilai rata - rata 48.6. Dalam kategori ini perempuan memiliki subjective well beingyang lebih rendah daripada laki-laki. Menurut Diner perempuan dan laki-laki tampaknya menghitung jumlah kesejahteraan yang beda, sebagian besar perempuan lebih banyak meningkatkan kesejahteraan mereka melewati harga diri yang positif, keseimbangan dan kedekatan lebih berpengaruh besar dalam cara perempuan menjalani hubungan merek dan beragama, sedangkan pada laki-laki mereka menggunakan harga diri yang lebih positif, biasanya laki – laki memiliki waktu luang yang aktif, dan dapat kontrol mental lebih besar daripada wanita [16]

Peneliti juga melakukan perbandingan subjective well being berdasarkan faktor usia pada santri di Pondok Pesantren An – Nur dapat di lihat pada Tabel 2. Nilai Sig. 0.000 < 0,05 yang berarti rata – rata subjective well beingberdasarkan usia berbeda secara signifikan.

ANOVA

Sum ofSquares df MeanSquare F Sig.
BetweenGroups 2635.6 2 1317.799 36.017 0.000
WithinGroups 4390.6 120 36.588
Total 7026.2 122
Table 2.Subjective Well Being Berdasarkan Usia

Figure 3.Rata – Rata Subjective Well Being Berdasarkan Usia [2]

Perbedaan signifikan subjective well being berdasarkan usia dapat dilihat dari hasil rata - rata Gambar 2. menunjukan bahwa santri kelas VII berusia 13 tahun memiliki skor rata – rata 45,6, santri kelas VIII berusia 14 tahun memiliki skor rata – rata 51,2, dan santri kelas XI berusia 15 tahun memiliki skor rata -rata 57,5. Dapat dismipulkan bahwa subjectivewellbeingsantri yang ada di Pondok Pesantren An – Nur mengalami peningkatan dari usia 13 hingga 15 tahun. Hasil tersebut diperkuat oleh penelitian terdahulu oleh [16] yaitu skor rata – rata subjective well beingsemakin meningkat dari usia 12 - 15 tahun, usia tersebut tergolong dalam usia remaja awal. Menurut [1] perkembangan kognitif terjadi pada remaja awal, remaja akan memiliki pemikiran pada tahap oprasional formal yang bersifat egosentris, yaitu meningkatnya kepekaan diri. Perkembangan kognitif secara tidak langsung akan menjadi faktor yang menyebabkan meningkatnya subjective well being pada remaja [16] Tingkat subjective well beingjuga berpengaruh terhadap jenjang kelas dan lama santri berada di pondok pesantren, diketahui bahwa semakin lama santri berada di pondok pesantren maka semakin tinggi subjective well being santri. Terlihat pada santri di kelas VII memiliki skor rata – rata yang lebih rendah di bandingkan dengan siswa kelas VIII dan kelas IX. Hasil skor rata -rata dapat dikaitkan dengan hasil wawancara sederhana yang dilakukan dengan salah satu santri kelas VII menunjukkan bahwa santri baru pertama kali mengenal sistem pendidikan di pondok, sehingga santri perlu beradapsi dengan segala peraturan, kegiatan serta lingkungan di pondok pesantren. Proses adaptasi tersebut tidak jarang dapat mempengaruhi rendahnya subjective well being yang dimiliki santri kelas VII. Pada santri kelas VIII memiliki skor rata – rata yang lebih baik dari santri kelas VII. Berdasarkan wawancara dengan salah satu santri kelas VIII menjelaskan bahwa santri lebih dapat berdaptasi dengan kegiatan yang ada di pondok pesantren, akan tetapi masalah datang dari lingkungan sosial yaitu adanya konflik dengan sesama santri. Konflik dengan sesama santri membuat santri tersebut merasa sedih dan jengkel. Perasaan sedih dan jengkel dapat mempengaruhi rendahnya tingkat subjective well being pada santri. Skor rata – rata tertinggi dimiliki oleh santri kelas IX. Berdasarkan hasil wawancara sederhana dengan salah satu santri kelas IX menunjukkan bahwa santri sudah dapat menikmati kehidupanya di pondok pessntren, konflik dengan sesama santri juga sudah berkurang. Untuk menghindari konflik dengan sesama santri, santri memilih kegiatan – kegiatan

yang menarik untuk menghilangkan rasa bosan dan jenuh ketika berada di pondok pesantren. Hal tersebut yang membuat tingak subjectivewellbeingyang dimiliki santri kelas IX lebih tinggi daripada santri kelas VII dan VIII.

Simpulan

Kesimpulan penelittian ini yaitu bahwa gambaran subjectivewellbeingpada santri di Pondok Pesantren An – Nur bervariasi pada kategori tinggi, sedang, hingga rendah, yaitu sebesar 31% dari 31 santri memiliki subjective well being yang rendah, 38% dari 47 santri memiliki kategori subjective well being yang sedang dan 31% dari 38 santri memiliki kategori subjective well being yang tinggi. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar santri di Pondok Pesantren An - Nur memiliki tingkat subjective well being pada kategori sedang yaitu 38% dari 47 santri. Dapat disimpulkan bahwa kebanyakan santri yang ada di Pondok Pesantren An – Nur memiliki tingat subjective wellbeing dari sedang ke rendah. Masih adanya kategori subjective well being santri yang masih rendah dapat menjadi evaluasi bagi pihak pondok pesantren An-Nur untuk dapat meningkatakan subjective well being pada santri melalui beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pondok pesantren untuk meningkatkan subjectivewellbeingsantri diantaranya, yaitu mengadakan pelatihan, melakukan bimbingan konseling dengan para santri, serta menambah ekstra kurikuler yang dapat meningkatkan motorik dalam bidang olahraga menginggat usia santri di pondok pesantren An–Nur masuk dalam kategori remaja.

References

  1. J. W. Santrock, Life - span development perkembangan masa hidup jilid 1, Ed.13. Jakarta: Erlangga, 2012.
  2. K. Z. Saputro, “Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja,” Apl. J. Apl. Ilmu-ilmu Agama, vol. 17, no. 1, pp. 25–32, 2017, doi: 10.14421/aplikasia.v17i1.1362.
  3. E. M. P. Dewi, “Konsep kebahagiaan pada remaja yang tinggal di jalanan, panti asuhan dan pesantren,” J. Ilm. Psikol., vol. 7, no. 1, pp. 1–8, 2016.
  4. A. N. Ismail and W. Yudiana, “Subjective well-being pada siswa pesantren modern dan siswa madrasah aliyah,” J. Psikol. Islam dan Budaya, vol. 3, no. 1, pp. 13–22, 2020, doi: 10.15575/jpib.v3i1.5689.
  5. N. L. Sardi and Y. Ayriza, “Pengaruh dukungan sosial teman sebaya terhadap subjective well-being pada remaja yang tinggal di pondok pesantren,” Acta Psychol., vol. 2, no. 1, pp. 41–48, 2020.
  6. N. Nabila, “Hubungan antara regulasi diri dengan penyesuaian diri pada santri remaja pondok pesantren darut taqwa ponorogo neila nabila,” J. Penelit. Psikol. Perubahan, vol. 06, no. 03, 2019.
  7. A. A. Stone and C. Mackie, Subjective well-being : measuring happiness, suffering, and other dimensions of experience. Panel on Measuring subjective well-being in a policy-relevant framework. Washington, D.C.: The National Academis Press, 2013.
  8. D. Asfia, “Hubungan antara religiusitas dan problem focused coping dengan subjective well-being pada santri di pondok pesantren putri sabilurrosyad gasek malang,” Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017.
  9. A. I. Filsafati and I. Z. Ratnaningsih, “Hubungan antara Subjective well-being dengan Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan PT. Jateng Sinar Agung Sentosa Jawa Tengah & DIY,” J. Empati, vol. 5, no. 4, pp. 757–758, 2016.
  10. S. Oktarina, “Perbedaan tingkat subjective well-being berdasarkan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada remaja yang tinggal di panti asuhan amanah yayasan kesatuan wanita islam pekanbaru,” Skripsi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015.
  11. T. Hu, D. Zhang, J. Wang, R. Mistry, G. Ran, and X. Wang, “Relation between emotion regulation and mental health: A meta-analysis review,” Psychol. Rep., vol. 114, no. 2, pp. 341–362, 2014, doi: 10.2466/03.20.PR0.114k22w4.
  12. N. N. Sofia, “Manajemen konflik di pesantren melalui kultur pesantren dan gaya kepemimpinan kyai,” J. Stud. Islam dan Kemuhammadiyahan, vol. 1, no. 1, pp. 1–16, 2021, doi: 10.18196/jasika.v1i1.1.
  13. T. A. Suyono, A. D. Kumalasari, and E. Fitriana, “Hubungan quarter-life crisis dan subjective well-being pada individu dewasa muda,” J. Psikol., vol. 14, no. 2, pp. 301–322, 2021, doi: 10.35760/psi.2021.v14i2.4646.
  14. Z. Sabiq and Miftahuddin, “No Title,” Pengaruh optimisme, dukungan Sos. dan fktor Demogr. terhadap Kesejaht. Subj. pada perawat, vol. VI, no. 01, 2017.
  15. F. Ibda, N. A. B. Ishak, and M. A. Bin Mohd Nasir, “Kesejahteraan subjektif (subjective well-being) ditinjau dari sosio-demografis di kalangan remaja yatim yang tinggal di panti asuhan/pesantren yatim,” J. Al-Ijtimaiyyah, vol. 7, no. 2, pp. 195–212, 2021, doi: 10.22373/al-ijtimaiyyah.v7i2.10907.
  16. M. Khairat and M. G. Adiyanti, “Self-esteem dan prestasi akademik sebagai prediktor subjective well-being remaja awal,” J. Psikol. UGM, vol. 1, no. 3, pp. 180–191, 2016.